Langkah Perbankan Hasilkan Laba Kian Berat, Rasio NIM Terus Turun
Kinerja sektor perbankan nasional tengah menghadapi tantangan serius. Meskipun kondisi makroekonomi mulai
menunjukkan pemulihan pasca-pandemi dan inflasi global mereda, bank-bank di Indonesia
justru menghadapi tekanan pada indikator profitabilitas utama mereka—yakni Net Interest Margin (NIM) atau margin bunga bersih.

Langkah Perbankan Hasilkan Laba Kian Berat, Rasio NIM Terus Turun
NIM yang terus menurun dalam
beberapa kuartal terakhir menjadi sinyal kuat bahwa menghasilkan laba di industri perbankan kini tidak semudah sebelumnya.
Tekanan datang dari berbagai sisi, mulai dari peningkatan biaya
dana (cost of fund), persaingan ketat dalam penyaluran kredit, hingga pergeseran perilaku nasabah ke produk-produk berbunga rendah.
Apa Itu NIM dan Mengapa Penting?
Net Interest Margin (NIM) merupakan indikator kunci dalam menilai efisiensi dan profitabilitas bank dalam menjalankan fungsi intermediasi. NIM dihitung dari selisih antara pendapatan bunga
yang diperoleh dari penyaluran kredit dengan biaya bunga atas dana yang dihimpun, lalu dibagi dengan total aset produktif.
Semakin tinggi NIM, semakin efisien bank dalam menghasilkan keuntungan dari aktivitas pemberian kredit dan penempatan dana.
Namun, tren yang terjadi sejak pertengahan 2023 hingga awal 2025 menunjukkan arah sebaliknya.
Tren Penurunan NIM di Indonesia
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat bahwa rata-rata NIM perbankan nasional pada kuartal pertama 2025
berada di angka 4,3%, turun dari posisi 4,7% pada periode yang sama tahun sebelumnya.
Penurunan ini bersifat menyeluruh dan dirasakan baik oleh bank BUKU IV (bank besar), bank digital, maupun bank pembangunan daerah.
Faktor utama penyebab turunnya NIM antara lain:
-
Peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) yang menyebabkan bank harus menawarkan bunga simpanan lebih tinggi untuk mempertahankan dana pihak ketiga (DPK).
-
Persaingan suku bunga kredit yang semakin ketat, terutama pada sektor UMKM dan konsumer, yang membuat bank harus menekan margin agar tetap kompetitif.
-
Pergeseran keuangan digital, di mana nasabah kini lebih banyak menggunakan layanan e-wallet, PayLater, dan produk non-bank lain yang menggeser dominasi pinjaman konvensional.
Baca juga:OJK Ungkap Progres Penyehatan AJB Bumiputera
Upaya Bank dalam Menjaga Profitabilitas
Menghadapi kondisi NIM yang terus tergerus, bank-bank nasional tidak tinggal diam. Berbagai strategi diterapkan untuk menjaga profitabilitas, antara lain:
-
Diversifikasi Pendapatan Non-Bunga (fee-based income)
Bank memperkuat layanan wealth management, bancassurance, dan transaksi digital untuk meningkatkan pendapatan dari komisi dan layanan. -
Efisiensi Operasional dan Digitalisasi
Penggunaan AI dan otomasi untuk mempercepat proses operasional serta memangkas biaya cabang fisik yang tidak produktif menjadi solusi utama. -
Penyesuaian Struktur Dana
Bank mendorong peningkatan dana murah (CASA) melalui kampanye digital banking dan loyalitas nasabah, agar biaya dana bisa ditekan. -
Penyaluran Kredit ke Segmen Produktif
Fokus diarahkan ke sektor industri, infrastruktur, dan pembiayaan hijau yang memiliki risiko rendah dan potensi margin lebih besar.
Tantangan Tambahan di 2025
Selain penurunan NIM, perbankan juga menghadapi tantangan baru dari sisi regulasi dan makroekonomi, seperti:
-
Penerapan Basel III secara penuh yang menuntut perbankan menjaga rasio permodalan dan manajemen risiko dengan lebih ketat.
-
Ancaman perlambatan global, khususnya dari pasar Tiongkok dan Eropa, yang berdampak pada ekspor dan daya serap kredit sektor industri dalam negeri.
-
Persaingan dari perusahaan fintech dan embedded finance, yang menawarkan pinjaman cepat dengan proses yang lebih ringkas dan berbasis teknologi.
Pandangan OJK dan Analis Keuangan
OJK menyatakan bahwa kondisi NIM yang turun tidak serta-merta menjadi sinyal negatif.
Menurut Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, tren penurunan NIM justru mendorong bank untuk menjadi lebih
efisien dan tidak lagi bergantung sepenuhnya
pada margin bunga sebagai sumber keuntungan utama.
Sementara itu, analis pasar modal menilai
bahwa bank-bank dengan struktur dana yang kuat dan pendapatan fee yang
stabil akan tetap mampu mencetak laba sehat, meski berada dalam tekanan.
“Bank yang cepat beradaptasi dengan
digitalisasi, serta mampu menyalurkan kredit secara selektif ke sektor yang resilient,
masih sangat layak dijadikan pilihan investasi,” ujar Andri Gunawan, analis keuangan senior dari Bursa Insight.
Kondisi Individual Beberapa Bank Besar
-
Bank A mencatat penurunan NIM dari 5,2% menjadi 4,6%, namun berhasil menjaga laba bersih naik 8% berkat kenaikan fee dari layanan digital banking.
-
Bank B mengandalkan penyaluran kredit ke sektor hijau dan membukukan NIM relatif stabil di angka 4,9%, tertinggi di antara bank sejenis.
-
Bank C, yang lebih berfokus ke segmen ritel dan UMKM, mengalami tekanan cukup berat karena harus memberikan bunga kompetitif di tengah tingginya cost of fund.
Kesimpulan
Penurunan rasio NIM menjadi tantangan nyata bagi perbankan Indonesia di tahun 2025.
Dalam lanskap persaingan yang semakin ketat dan perubahan perilaku nasabah yang cepat, bank dituntut untuk melakukan transformasi strategis.
Ke depan, bank yang adaptif dan tangguh dalam menghadapi dinamika pasar akan tetap mampu bertahan, bahkan tumbuh di tengah tekanan.
Transformasi ini menjadi momentum penting bagi industri perbankan untuk berevolusi menuju ekosistem keuangan yang lebih sehat, inklusif, dan berkelanjutan.